WHAT TIME IS IT....?????

Saturday, December 3, 2016

I will tell you a story (Part 1)

Pagi ini, aku memutuskan untuk tak lagi menyimpan lumat - lumat di hati tentang apa yang pernah terasa, apa yang masih terasa, dan apa yang ingin terasa. Beberapa hal yang tak pernah aku berharap untuk diketahui banyak orang. Sesuatu yang kunikmati sendiri, kurasakan sendiri, dan kusyukuri hadirnya karena sangat menyenangkan meskipun kadang terasa begitu menyakitkan ketika rasa yang tak pernah tersampaikan.

24 tahun sudah menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan yang selalu ingin diaanggap bukan perempuan biasa. Tapi seorang perempuan yang berbeda dari yang lain. Dan tentunya perempuan yang kelak berharap mendapatkan laki-laku yang didambakannya. Kalau sudah bicara laki-laki, pacar, jodoh, calon suami, kata pertama yang keluar dari mulutku adalah HUFT. Yahhh, obsesi menjadi perempuan yang berbeda membuatku harus menerima kenyataan bahwa aku tak pernah benar-benar berhasil soal perasaan. Bagimana tidak, beberapa keputusan yang ku ambil di masa lalu membuat posisi ku diusiaku yang kepala 2 lebih ini menjadi serba salah, belum punya calon suami, dan tak terpikir kapan akan menikah. Padahal sekeliling, tak bisa dielakkan mulai terasa banyak sekali undangan pernikahan dari beberapa teman. Teman sekolah, teman kuliah tetangga dan lain sebagainya. Ada juga yang sedang dengan sangat bahagianya menyiapkan pernikahan dengan mengepost berbagai macam model dan tema foto prewedding. Ada juga yang sudah tancap gas lebih dulu, dengan bahagianya memperlihatkan foto usg perkembangan sebuah janin kecil dari masa ke masa, yang terlihat jelas sangat dinantikan kehadirannya. Kebahagiaan yg terlihat sangat tercermin dari setiap keluarga baru yang dimilikinya. Yah.. memang, beberapa ulasan artikel dan sosial media mengatakan, itulah hal yg akan kamu rasakan ketika menginjak usia 20 an tahun, dan itu memang wajar dialami oleh sebagian besar orang. Aku termasuk salah satunya.

Kalau ditanya kenapa belum, kenapa sampai saat ini masih sendiri? kadang aku baru tersadar, wingi aku nandi ae yo (read : aku kemaren kemana saja ya). Pertanyaan yang sejenak mengulas masa lalu akan obsesi dan keinginan serta prinsip yang sengaja aku pegang dengan teguh. Ini masalah tanggung jawab dan kepercayaan. 

Bicara Obsesi, banyak hal yang menjadi penyebab sebuah obsesi muncul. Sama halnya dengan obsesi masa kecil yang terpengaruh dari kondisi sosial yang dialami batin seorang anak. Bukan hal yang rumit, tapi cukup membuat hati teguh. Aku lahir dari keluarga yang biasa saja. Sederhana tapi tak telalu bahagia, meskipun pada akhirnya aku bersyukur atas apa yang kami alami di setiap detik yang keluarga kecil kami lewati. Dari bapak ibu yang menikah di usia mereka yang cukup tua, sekitar 30 tahun, yang bertemu karena dikenalkan. Bapak yang harus membantu nenek yang telah menjadi janda 9 anak. Memastikan bahwa tidak ada satupun adiknya yang telantar, baik dari sisi asupan gizi, pendidikan, dan keuangan. Sehingga harus merelakan didahului menikah oleh adiknya. Jika telah dipastikan semua sudah bisa mandiri atau setidaknya sudah bisa saling membantu satu sama lain, saatnya bapak untuk memikirkan dirinya. Sebuah kehidupan mulai seorang laki-laki dengan tanggungjawabnya sebagai anak pertama. Ibu ku, ibu yang cukup berani mengejar impiannya dan pindah ke kota. Lahir dalam sebuah desa yang jauh dari perkotaan, hidup dalam keluarga yang tak begitu harmonis, yang menyebabkan ibu memiliki saudara, 6 bersaudara, dari 2 ibu yang berbeda. Momok akan laki-laki yang mungkin bisa saja meninggalkannya, seperti bagaimana kakek bercerai dengan nenek, membuatnya berprinsip bahwa perempuan harus kuat, harus punya penghasilan sendiri, dan jangan hanya bergantung pada laki-laki. Itu yang tak pernah henti ibu tanamkan pada aku dan kakak. Sehingga ibu memutuskan untuk pindah ke kota dan mulai kehidupannya sendiri. Bekerja mulai dari nol, kuliah profesi untuk memposisikan dirinya menjadi lebih baik. Dan akhirnya, demi mengejar cita-cita nya menjadi bidan dengan kemampuan menghidupi diri sendiri, membuatnya berprinsip akan menikah setelah menyelesaikan obsesinya. Alhasil, diusia yang cukup tua untuk seorang perempuan menikah. Kondisi keluarga bahagia kami yang sederhana ini membuat obsesi akan mengubah kondisi dan derajat keluarga tumbuh dalam diri seorang anak yang telah merasakan bagaimana perjuangan kedua orang tua menghidupi keluarga kecil ini dengan banting tulang. Obsesi sedehana, tak muluk muluk, menjadi anak yang mampu meningkatkan derajad orang tua, dengan fokus pada pendidikan, fokus pada karir, dan menemukan suami yang mampu membantu meningkatkan derajat keluar, terutama dari sisi finansial dan sudut pandang kedudukan bermasyarakat. 

Dari obsesi sederhana yang terpampang di pikiran, membuat masa-masa sekolah, masa dimana cinta dan sayang pada orang selain keluarga mulai muncul. Masa dimana gadis kecil ini mengenal dunia luar dan mulai mengenal kepribadian yang berbeda, sosok yang berbeda dari perempuan, yaitu laki-laki. Ah.. membahas ini membuat ku mengingat masa-masa yang samapai saat belum tahu, apakah harus kusesali atau kusyukuri. Tapi belum lama aku memutuskan untuk mensyukuri nya sebagai pelajaran kehidupan. Keputusan ku untuk fokus pada nilai, prestasi sekolah membuat ku menjadi anak yang hanya tahu rumah dan sekolah. Menciptakan prinsip hidup sederhana "ga mau pacaran kalo belum punya penghasilan sendiri". So simple to do, but big impact. Dengan keputusan itu membuat ku menjadi Jomblo Abadi. Sampai saat ini. Membuat ku menjadi sosok yang super cuek terhadap orang orang yang mencoba dekat. Dan menjadi perempuan yang mimpi di siang bolong menyukai laki-laki yang bisa hampir di katakan sempurna dan sangat mustahil untuk didapatkan, aku mah apa atuh. 

Kesombongan di masa muda ini membuatku menjadi perempuan yang semi tomboy, cuek pada penampilan dan tutur kata, menjadi sangat introvert, dan menumbuhkan kepercayaan akan jodoh, bahwa jodoh ga akan kemana, akan datang di saat yang tepat, tak perlu mencari karena nanti akan dicari, cukup simpan dalam hati dan ucapkan dalam doa. Sehingga kehidupan masa sekolahku banyak dihiasi dengan kebahagian akan cinta sendiri, kesenangan memendam perasaan, menikmati sosok yang dikagumi dengan hanya melihat nya lamat lamat, kemudian tersenyum simpul mensyukuri semuanya. Kepercayaan yang juga tak lepas dari ajaran agama yang ku anut, yang menyarankan untuk menyimpan perasaan sepenuhnya dalam doa dan lebih baik fokus memantaskan diri. 

No comments:

Post a Comment